Beberapa perawat di Rumah Sakit bercerita
tentang kekhawatiran mereka bila harus pulang dari dinas sore atau mau
berangkat dinas malam ke rumah sakit. Mereka khawatir dengan berbagai kejadian
begal yang sering beraksi pada malam hari, merampas dan melakukan perilaku
kekerasan. Memang saat ini fenomena begal sedang mewabah dan secara langsung
pula ini mempengaruhi psikologis masyarakat yang menjadi mudah merasa
cemas/khawatir mengenai keamanan. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
beberapa orang di masyarakat bukan hanya
begal, ada juga hal hal yang lain seperti perilaku ‘bullying’ di sekolah,
tawuran pelajar, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan berbagai masalah
kejiwaan yang berujung pada munculnya perilaku kekerasan seperti depresi,
skizofrenia, bipolar atau gangguan kepribadian. Perilaku kekerasan merupakan
masalah kejiwaan memerlukan penanganan yang serius karena
biasanya memberikan gangguan yang berat dalam pekerjaan, relasi sosial,
keluarga dan masalah hukum. Faktor-faktor yang bisa memicu seseorang melakukan
perilaku kekerasan antara lain adalah :
- Penyalahgunaan narkoba yang secara langsung bisa mempengaruhi otak untuk melakukan perilaku kekerasan
- Gangguan psikologis seperti gangguan kepribadian, gangguan jiwa atau stresor dalam kehidupan lainnya
- Tontonan/tayangan/bacaan mengenai kekerasan yang membuat toleransi seseorang terhadap perilaku kekerasan menjadi rendah
- Pola asuh orang tua yang kurang cocok, anak yang terlalu dimanja, kurang diperhatikan dan juga terlalu otoriter bisa memicu perilaku ini
- Lingkungan sekitar yang kurang aman / kondusif sehingga membuat perilaku kekerasan mudah terjadi
- Kurangnya kemampuan penyelesaian masalah (problem solving) yang berujung pada penyelesaian dengan kekerasan
Kualitas dan intensitas interaksi antara
anggota keluarga akan menentukan apakah seseorang akan mempunyai kecenderungan
agresi atau tidak. Bila sejak kecil anak-anak mendapat perlakuan kekerasan,
baik melalui kata-kata (verbal) maupun tindakan (perilaku), maka akan membentuk
pola kekerasan dalam dirinya. Bila dalam lingkungan keluarga dibina iklim
'assertiveness' yakni keterbukaan, kebersamaan, dialog, sikap empati, maka akan
terbentuk pola refleks yang ‘assertive’ bukan pola ‘agressiveness’. Kondisi
assertive akan mengurangi terbentuknya sirkuit pendek agresi dan dapat menumbuh
kembangkan kecerdasan rasional, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
sebab eksistensi humanisme manusia merupakan hasil interaksi kecerdasan
rasional IQ- aspek fisik (organo-biologis)- kecerdasan emosional (EQ) yang
merupakan aspek mental (psiko-edukatif)- dan kecerdasan spiritual (SQ).
Diperlukan penanganan yang komprehensif
dan terencana dari fenomena perilaku kekerasan ini terutama karena anak-anak
sudah banyak yang terlibat dan menjadi pelaku perilaku kekerasan. Kita tentunya
tidak ingin anak-anak kita hidup dalam dunia yang penuh dengan kekacauan akibat
kekerasan di mana mana, yang sekarang sudah mulai marak terjadi. Pemerintah,
profesional di dunia kesehatan, sekolah dan masyarakat harus mulai mengambil
peran dalam menjaga mental bangsa kita. Deteksi dini dan penanganan yang cepat
untuk setiap perilaku kekerasan diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi
efek negatif yang terlalu luas. Peningkatan keterampilan pola asuh yang baik
bagi orang tua dan juga pengawasan yang baik di sekolah dengan kurikulum
seperti “life skills” sangat dibutuhkan dengan segera.
Perilaku kekerasan dapat dicegah dan
ditangani dengan baik bila ada keinginan, pengetahuan dan keterampilan yang
cukup akan hal tersebut. Salam sehat jiwa !
Dr. Lahargo Kembaren, SpKJ (psikiater)
Kepala SMF Psikiatri RS. Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor
0 comments:
Post a Comment